//
you're reading...
Curah Pikiran

Kue Cubit dan Ketoprak

Ketika di beberapa belahan daerah lain sudah masuk musim penghujan. Bahkan dikabarkan di beberapa daerah bahkan sampai terjadi bencana banjir. Cirebon tetap kering. Tetap puanasss. Ada hujan, ya hujan main-main saya menyebutnya.

Hujan main-main yang hanya sesaat. Sesaat, hanya seperempat jam. Lalu puanas lagi. Hanya bikin cuaca tidak bersahabat. Tak jarang badan pun jadi ngedrop.

Pagi ini nampaknya berbeda. Memasuki minggu kedua Desember 2020 ini hujan sejak pagi. Hari ini sejak awal sudah mendung. Hari Minggu pagi yang mendung. Seperempat jam menjelang pukul tujuh pagi hujan turun dengan derasnya. Tiba-tiba deras. “Ah paling sebentar”, pikir saya. Karena biasanya Minggu pagi adalah agenda saya untuk sekedar berkeliling ke komplek stadion terbesar di kota ini. Ya terbesar dan termegah. Karena ia memang hanya satu-satulah stadion yang kota ini miliki.

Tepat pukul tujuh pagi hujan tetap deras. Tambah deras. “Wah bagaimana nasib para pedagang dadakan di sekitar komplek stadion?”, batin saya. Tiap Minggu pagi memang biasa dipenuhi para pedagang maupun warga yang berolahraga pagi atau wisata kuliner dadakan.

Adem. Angin semilir berhembus dingin. Asyik sekali. Saya buka semua jendela di rumah. Agar terjadi pertukaran udara segar.

Saya memilih untuk membaca salah satu buku karya Pramoedya Ananta Toer. Sambil menikmati dingin pagi, hembusan angin dingin, dan gemericik bunyi air hujan. Indah sekali. Walau tetap terbersit di pikiran bagaimana nasib para pedagang yang sudah berharap akan laku di pagi ini.

Ah, itulah hidup. Saat ada yang suka dan senang di satu tempat. Maka ada yang duka dan susah di lain tempat. Selalu ada dua sisi. Selalu ada pro dan kontra. Tinggal bagaimana dan dari sudut mana kita melihatnya. Itulah konsep bersyukur. Apapun keadaannya tetap bersyukur.

Waktu terus bergulir. Makin siang. Hujan terus turun seolah tak bosan. “Kali ini serius hujannya”, pikir saya. Saya hentikan membaca buku. Lanjut beraktivitas lain. Membereskan sesuatu yang bisa dibereskan. Membersihkan yang kotor.

Menjelang tengah hari masih hujan. Tidak deras tapi tidak pula gerimis. Sedang saja, konstan. Langit tetap mendung. Saya putuskan ke luar rumah. Menuju komplek stadion. Melihat situasi. Melihat yang bisa dibeli dari mereka. Paling tidak bisa sedikit menghibur dan memberi harapan.

Tiba di komplek stadion. Benar dugaan saya, sepi pengunjung, sepi pedagang. Sudah bubar awal karena hujan sejak pagi. Bahkan beberapa terlihat mulai berkemas. Namun beberapa pedagang makanan ada yang mencoba bertahan walau sepi pengunjung.

Ada penjual makanan khas yang terlihat berjalan pulang. Ketoprak. Makanan khas di sini. Bukan Ketoprak kesenian loh ya. Bukan pula Ketoprak Humor. Gerobaknya nampak masih penuh. “Masih ada Pak”, tanya saya sambil mendekat. “Banyak…”, jawabnya singkat dengan wajah penuh harap.

Saya pun memesan tiga porsi. Dibungkus. Daripada menunggu, saya tinggal sambil memutar area. Ada lagi pedagang makanan serupa. Saya pesan satu porsi lagi. Dibungkus. Singkatnya sudah ada empat porsi di samping saya. Buat siapa? Saya akan bagi ke orang yang sekiranya lapar di siang yang dingin ini. Simpel saja pikiran saya.

Perjalanan pulang menjelang keluar komplek bertemu pedagang Kue Cubit. Si Bapak yang entah siapa namanya. Namun kami saling kenal. Kenal Kebo istilahnya. Saling tahu wajah, namun tidak saling tahu nama. Saya paham walau tanpa bertanya padanya, stok masih banyak. Saya pun pesan empat porsi lagi. Girang Si Bapak merespon orderan. Saya tunggu. Saat membayar tak lupa saya serahkan pula sebungkus makanan yang saya telah siapkan. Senang dan mengucapkan terima kasih dengan Bahasa Sunda yang halus.

Keluar komplek menuju rumah kembali. Bertemu dengan petugas keamanan yang sedang naik motor dengan berpayung ria. Bukan jas hujan, tapi payung. Saya kenal beneran kali ini. Bukan sekedar kenal kebo. Saya hentikan laju kendaraan saya. Satu bungkus makanan tadi berpindah ke gantungan di motor matic-nya. Senang dan memang belum makan siang nampaknya. Pas, batin saya dalam hati. Pas lapar, pas ada makanan siap santap.

Sisa dua porsi lagi. Saya santap berdua dengan teman saya yang ada di rumah. Kenyang bahagia. Kenyang dan berbagi sekaligus. Sedikit memang. Mungkin tidak berarti banyak. Namun minimal bisa memberi harapan pada orang-orang itu yang berjualan sedang sepi pembeli. Minimal bisa berbagi kebahagiaan dengan yang sedang lapar di siang hari yang dingin dan diguyur hujan. Bersyukur atas nikmat Tuhan. Itu yang paling utama. Bersyukur dalam segala hal.

Bagaimana dengan empat bungkus Kue Cubit. Ah tenang aja. Akan saya berikan kepada anak-anak teman saya yang lain. Biar ada kebahagian lain di sana.

Teruslah berbagi selagi bisa. Jangan berhenti kalau bisa. Seperti hujan yang terus turun sampai malam ini. Terus mengalir. Bukan masalah jumlahnya. Kecil pun tidak apa. Sekecil Kue Cubit.

Budy Snake.Cirebon.06122020.

About Budy Snake

I am a magician and snakes charmer.

Discussion

No comments yet.

Leave a comment